Kisah Pahit-Manis Rianto, Tokoh Pemuda Pringsewu Meniti Kopi 'Klangenan'
Rianto Pamungkas (44 tahun) membuktikan bahwa memulai suatu bisnis tidak harus dengan modal berkecukupan atau menguasai teori canggih yang tertuang rapi di atas kertas. Ulet, inovatif, dan terus belajar dari kegagalan, serta kemauan kuat mewujudkan impian menjadi kuncinya untuk terus berkembang.
Tokoh muda asal Kabupaten Pringsewu, Lampung, ini menjadi potret ideal seorang pengusaha. Ia tidak lahir sebagai pengusaha dari modal besar. Rianto juga bukan anak orang berada yang diberi support penuh untuk membesarkan usahanya. Tapi ia membuktikan semua itu tak menjadi penghalang jalannya menaiki tangga keberhasilan yang ia titi dari bawah.
Rianto kini tak sekadar mampu mengembangkan bisnisnya, tapi bisa memberdayakan masyarakat sekitar yang bekerja dalam perusahaan kopi yang ia punya. Ratusan orang kini bekerja dalam bisnisnya itu. Semua tak lepas dari keberhasilannya mengawinkan etos kerja yang kuat dan berpikir inovatif dalam pengembangan usaha.
Bungsu dari 11 bersaudara itu memulai semuanya hanya bermodal kemauan keras dan niat berkembang. 2001, atau ketika usianya 21 tahun, ia mencoba memasarkan kopi yang disangrai ibunya, Surastri, secara manual menggunakan wajan tanah liat. Ia taruh bungkusan kopi dari plastik kecil yang direkatkan dengan lilin ke warung-warung di sekitar rumahnya. Ia masih ingat, harga per bungkusnya Rp 500 rupiah. Tak lebih dari 7 kilogram (kg) kopi yang mampu ia jual waktu itu per hari.
Jungkir balik perjuangannya untuk mengembangkan usaha. Sampai pada 2010, ia bersama istri memutuskan untuk membeli mesin pengemasan dengan menjual cincin mas kawin beserta aset seadanya yang ia punya. Keputusannya bukan tanpa pertimbangan matang. Harga jual kopi sedang bagus saat itu. Saat itu pula, ia memberi jenama 'Klangenan' pada produknya.
Usahanya terus berkembang. Produksinya juga terus membesar. Masyarakat sekitar yang bekerja dengannya pun terus bertambah. Bersamaan dengan itu, ia terus menyempurnakan produksi kopinya. Tapi ia tak pernah berpuas diri. Berpikir inovatif, menurutnya, adalah 'nyawa' dari sebuah bisnis.
Rianto terus mencoba hal-hal baru. Salah satunya adalah mencari formula bagaimana mampu me-roasting kopi dalam skala besar tapi efisien dalam biaya. Roasting kopi, kata Riyanto, merupakan 25 persen keberhasilan menyulap biji kopi menuju kesempurnaan. 50 persennya adalah kualitas kopi, dan 25 persen sisanya ada di wilayah penyajian.
Awalnya, Rianto me-roasting kopi menggunakan pembakar yang disemprotkan ke tungku secara langsung. Dengan cara ini, kopi bisa matang sempurna butuh waktu hingga 17 jam. Dari aspek ongkos, butuh biaya yang lumayan untuk gas pembakaran.
Anak seorang buruh tani itu kemudian mencoba cara baru dengan terus eksperimen. Hingga ia menemukan cara me-roasting menggunakan pembakar, tapi dengan menyemprotkan oksigen ke tungku. Dengan cara ini, kopi matang sempurna hanya butuh waktu 4 jam. Biaya produksinya pun mampu ditekan signifikan.
"Awalnya coba-coba. Tapi jangan bayangkan berhasil dengan sekali mencoba," kata Rianto, kemarin. Dengan tawa kecil seraya mengingat percobaannya, ia menyebut belasan kali cara dan formula ia coba. Tentu ada biaya dan waktu yang harus direlakannya.
Jika ada ungkapan usaha mulai dari nol dan kini di puncak keberhasilan, Rianto adalah potret itu. Tapi ia mengingatkan, tidak ada pencapaian tanpa kerja keras dan doa dari orang terdekat, terutama orang tua. Yang terpenting, menurut Rianto, terus mencoba hal baru dan tak mudah menyerah adalah resepnya.
Ia yakin, para pemuda dan masyarakat secara umum di Pringsewu punya etos tersebut. Rianto paham betul karakter masyarakat di sana. Ia lahir dan besar di Pringsewu. Rianto juga tinggal di sana sejak lahir hingga sekarang. "Warga Pringsewu, para pemudanya terlebih, itu sangat luar biasa. Keunggulan Pringsewu itu SDM-nya," ujar Rianto.