Fahira Dorong Daerah Miliki Perda Masyarakat Hukum Adat

JAKARTA — Anggota DPD RI Dapil Daerah Khusus Jakarta Fahira Idris mendorong semakin banyak daerah di Indonesia memiliki peraturan daerah (perda) tentang masyarakat hukum adat. Meskipun Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 telah mengamanatkan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, namun implementasi di tingkat daerah masih jauh dari ideal.
Setidaknya baru sekitar 47 daerah di Indonesia yang sudah memiliki perda terkait masyarakat hukum adat. “Salah satu instrumen hukum yang diharapkan dapat memperkuat posisi masyarakat hukum adat adalah perda. Sayangnya, hingga saat ini, hanya sedikit daerah yang memiliki perda tentang masyarakat hukum adat, dan yang sudah ada pun sering kali tidak diimplementasikan dengan baik,” ujar Fahira Idris di sela-sela Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), pakar/akademisi, dan para peneliti yang concern terhadap masyarakat adat di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta baru-baru ini.
Senator Jakarta ini mengungkapkan, salah satu kendala utama dalam pembentukan perda tentang masyarakat hukum adat adalah masih lemahnya komitmen pemerintah daerah. Selain itu, masih adanya perbedaan definisi masyarakat hukum adat dalam berbagai regulasi nasional menyebabkan kesulitan dalam proses identifikasi dan pemetaan wilayah adat. Di sisi lain, perda yang telah diterbitkan sering kali hanya bersifat deklaratif tanpa adanya mekanisme implementasi yang jelas. Hal ini berakibat pada rendahnya efektivitas perda dalam memberikan perlindungan nyata terhadap hak-hak masyarakat adat.
Menurut Fahira Idris, diperlukan langkah-langkah strategis yang lebih konkret dalam mempercepat penyusunan dan implementasi perda masyarakat hukum adat. Setidaknya, lanjutnya, ada lima rekomendasi yang perlu ditempuh. Pertama, insentif kepada daerah yang telah mengesahkan perda tentang masyarakat hukum. Pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri, perlu memberikan insentif kepada daerah yang telah mengesahkan perda tentang masyarakat hukum adat. Insentif ini dapat berupa bantuan anggaran, dukungan teknis, maupun penghargaan kepada daerah yang proaktif dalam pengakuan masyarakat adat.
Kedua, perlu adanya kebijakan afirmatif yang mewajibkan setiap daerah untuk menyusun perda tentang masyarakat hukum adat, terutama bagi daerah yang memiliki komunitas adat dalam jumlah signifikan. Ketiga, pelatihan bagi legislator dan aparatur daerah mengenai pentingnya perda masyarakat hukum adat, termasuk aspek teknis dalam penyusunannya. Selain itu, perlu adanya kolaborasi antara pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat adat dalam menyusun perda yang sesuai dengan kebutuhan lokal.
Kempat, peningkatan partisipasi dan keterlibatan masyarakat adat. Keterlibatan masyarakat adat dalam proses penyusunan perda sangat penting agar regulasi yang dibuat sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan mereka. Untuk itu, pemerintah daerah harus memfasilitasi musyawarah adat sebagai bagian dari tahapan penyusunan perda. Ini artinya, nantinya perda harus mencantumkan mekanisme yang memungkinkan masyarakat adat berperan aktif dalam pengawasan dan implementasi kebijakan terkait.
Kelima, advokasi dan harmonisasi regulasi. Harus ada political will dari pemerintah dan DPR untuk mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat. RUU ini akan menjadi payung hukum yang lebih kuat bagi daerah dalam menyusun regulasi turunannya. Selain itu, penting juga melakukan peninjauan kembali regulasi yang berpotensi menghambat pengakuan masyarakat adat, seperti kebijakan yang terlalu birokratis atau memberikan ruang bagi eksploitasi sumber daya alam di wilayah adat.
“Keterlambatan dalam pembentukan perda masyarakat hukum adat tidak hanya memperpanjang ketidakpastian hukum bagi masyarakat adat, tetapi juga membuka ruang bagi eksploitasi wilayah adat. Dengan adanya perda yang kuat dan implementasi yang konsisten, hak-hak masyarakat hukum adat akan lebih dihormati dan dijamin keberlangsungannya,” jelas Fahira Idris.