Home > News

Survei IDEAS: 25,5 Persen Perokok Anak Mengaku Merokok Rokok Sejak SD

Survei juga menemukan bahwa 36,7 persen uang saku anak miskin dihabiskan untuk membeli rokok.
Mengejutkan, hasil suvei bahwa perokok di usia anak SD sangat banyak Sumber:dok IDEAS
Mengejutkan, hasil suvei bahwa perokok di usia anak SD sangat banyak Sumber:dok IDEAS

JAKARTA -- Kasus viral kepala sekolah yang menampar siswanya karena ketahuan merokok di sebuah SMA negeri di Banten bukan hanya soal kekerasan di sekolah. Lebih dari itu, hal ini merupakan sinyal nyata bahwa lingkungan dalam sekolah bahkan masih rentan dari maraknya peredaran rokok.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah sepatutnya menegakkan aturan yang ketat mengenai peredaran rokok dan perilaku merokok, sebagaimana yang telah dilakukan pada kasus-kasus perundungan.

Survei yang dilakukan Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) pada 2024 lalu mengungkap betapa luas dan mengakar kebiasaan merokok di kalangan anak miskin desa, bahkan sejak usia sekolah dasar. Dengan jumlah responden 106 perokok anak dan remaja dari rumah tangga miskin di 54 desa tertinggal dan sangat tertinggal di 13 kabupaten pada lima provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan DI Yogyakarta.

"Hasilnya, sangat mengejutkan yaitu 69,8 persen responden perokok anak tersebut adalah perokok aktif, 18,9 persen merokok sesekali, dan 11,3 persen baru mulai belajar merokok," ungkap Agung Pardini, Direktur Advokasi Kebijakan IDEAS dalam keterangan tertulisnya, Jum'at (17/10/2025).

Agung menambahkan bahwa sebagian besar, yaitu 58,5 persen mulai merokok di usia SMP (13–15 tahun), 25,5 persen sudah mencoba sejak SD (6–12 tahun), dan hanya 15,1 persen yang baru mulai di usia SMA (16–19 tahun).

“Fase mengenal rokok dan fase menjadi perokok aktif hampir tidak memiliki jarak waktu. Begitu anak mencoba, mereka langsung terjerat menjadi perokok aktif,” kata Agung.

Sebanyak 46,2 persen anak dan remaja mengaku mulai mengalami kecanduan rokok saat SMA. Kebiasaan itu, kata Agung, berimplikasi langsung terhadap pola konsumsi dan masa depan pendidikan mereka.

Rokok Jadi Pengeluaran Terbesar Anak Miskin

Survei juga menemukan bahwa 36,7 persen uang saku anak miskin dihabiskan untuk membeli rokok. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk makanan dan minuman (32,6 persen), transportasi atau BBM (20,2 persen), dan pulsa atau kuota internet (10,5 persen).

“Rokok kini seolah menjadi kebutuhan pokok baru dalam rumah tangga miskin. Akibatnya, alokasi untuk nutrisi, pendidikan, dan kebutuhan dasar lainnya berkurang,” ujar Agung.

Dari sisi pendidikan, 14,2 persen perokok anak hanya tamat SD, 50 persen berhenti di SMP, dan hanya 35,8 persen yang menamatkan SMA. Temuan ini memperlihatkan bahwa perilaku merokok berhubungan erat dengan tingginya angka putus sekolah di kalangan keluarga miskin.

Lingkungan dan Sekolah Rentan Jadi Faktor Pemicu

IDEAS juga mencatat bahwa 67,9 persen perokok anak dan remaja mendapatkan rokok dari orang lain—terutama teman dan tetangga. Hanya 5,7 persen yang mendapat dari keluarga inti, dan 2,8 persen dari keluarga non-inti seperti paman atau kakek.

“Ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan sosial di luar rumah, termasuk sekolah, jauh lebih dominan dalam membentuk perilaku merokok anak,” jelas Agung.

Kebiasaan saling berbagi rokok di kalangan teman sebaya juga memperkuat fase kecanduan. Karena itu, Agung menilai sekolah semestinya diberikan peran lebih besar dalam mengendalikan ekosistem merokok di lingkungannya.

“Sekolah harus menjadi ruang yang benar-benar bebas rokok, tidak hanya dari konsumsi, tapi juga dari promosi dan penjualan,” tegasnya.

Iklan Rokok Masif, Regulasi Lemah

IDEAS juga menyoroti gencarnya iklan dan promosi rokok yang menyasar kelompok muda. Iklan-iklan tersebut, menurut Agung, menancapkan asosiasi positif merokok dengan nilai kebebasan, maskulinitas, dan petualangan.

“Di tengah banjir iklan, kesadaran publik soal bahaya rokok tenggelam. Anak-anak miskin yang tumbuh dalam kondisi terbatas justru menjadi target paling empuk,” ujarnya.

IDEAS mendorong pemerintah memperketat larangan iklan, promosi, dan penjualan rokok di sekitar sekolah, terutama di wilayah pedesaan yang rentan. “Minimal dalam radius beberapa ratus meter dari sekolah tidak boleh ada toko yang menjual rokok atau menampilkan iklan rokok,” tegas Agung.

Tantangan Kebijakan

Menurut IDEAS, permasalahan merokok di kalangan keluarga miskin bukan sekadar isu kesehatan, tetapi masalah kebijakan publik yang mencakup dimensi ekonomi, sosial, dan pendidikan.

Dari serangkaian riset ini, IDEAS menyimpulkan bahwa faktor-faktor di luar rumah, baik dari lingkungan sosial maupun sekolah, terbukti lebih banyak memengaruhi anak untuk mulai merokok hingga akhirnya menjadi perokok aktif. Kebiasaan saling berbagi rokok di antara teman sebaya membuat fase kecanduan semakin dalam.

“Di sinilah semestinya sekolah diberikan peran aktif dalam mengendalikan pembentukan ekosistem merokok di kalangan siswanya,” ujar Agung.

Selain faktor lingkungan eksternal, iklan rokok juga berperan besar dalam meningkatkan prevalensi perokok pemula, khususnya di kalangan anak dan remaja.

“Kesadaran publik yang sebenarnya sudah terbangun tentang bahaya rokok terus tenggelam karena dihantam bertubi-tubi oleh beragam strategi iklan dan gencarnya promosi,” tutur Agung.

Agung menegaskan, tanpa keberanian politik melawan dominasi industri rokok yang kerap berdalih dibalik penyelamatan nasib ribuan pekerja dan jaringan hulu hingga ke hilirnya. Berbagai upaya edukatif hanya akan menjadi slogan moral semata. “Setiap batang rokok yang dibakar anak miskin berarti sebagian uang makan, uang sekolah, bahkan masa depan yang ikut terbakar,” ujarnya

× Image