Cerita Marni yang Jadikan BPJS Kesehatan Pegangan Saat Harus Cuci Darah Dua Kali Sepekan

BLORA - Di ruang hemodialisa RSUD dr R Soeprapto Cepu, Kabupaten Blora, terlihat seorang perempuan paruh baya yang tengah terbaring tenang namun tak pernah benar-benar bebas dari rasa lelah. Tubuhnya terhubung dengan mesin cuci darah, sebuah alat yang sejak dua tahun lalu menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.
Perempuan itu adalah Marni (51 tahun), warga Dusun Jumbung, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora. Sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI), ia harus menjalani prosedur hemodialisis dua kali dalam seminggu secara rutin.
“Tubuh saya sekarang tidak seperti dulu. Mudah lelah, kadang ngilu semua. Tapi saya harus kuat. Harus tetap semangat,” ucap Marni dengan suara pelan dan tatapan kosong ke langit-langit ruangan, beberapa Waktu lalu.
Sejak divonis gagal ginjal kronis pada awal tahun 2024, Marni hidup dalam rutinitas yang tidak ia bayangkan sebelumnya. Dua kali dalam seminggu, ia harus berangkat ke rumah sakit agar racun dalam tubuhnya bisa disaring lewat prosedur hemodialisis. Sekali saja terlewat, risikonya bisa sangat fatal.
“Iya, ini bukan pengobatan sesaat. Cuci darah itu seumur hidup. Kata dokter sekali tidak datang, racun bisa numpuk. Bisa langsung pingsan atau lebih parah. Saya sudah pernah merasakan seperti mau habis napas waktu belum tahu kondisi saya,” ungkapnya.
Bagi orang kebanyakan, dua kali seminggu ke rumah sakit mungkin terdengar biasa. Namun bagi Marni, yang hidup sederhana dan jauh dari pusat kota, itu adalah perjuangan yang luar biasa. Setiap kali jadwal datang, ia harus menyiapkan fisik dan mental, serta ongkos perjalanan. Tapi yang paling berat adalah membayangkan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan seandainya ia tidak terdaftar sebagai peserta JKN.
“Satu kali cuci darah itu katanya bisa sampai satu juta rupiah lebih. Kalau saya harus bayar sendiri, dua kali seminggu, berarti sebulan bisa delapan juta rupiah lebih. Dari mana saya punya uang segitu?” katanya.
Marni dan suaminya bukan berasal dari keluarga berkecukupan. Ia hanya seorang ibu rumah tangga, sementara suaminya bekerja serabutan. Penghasilan mereka kadang tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk menanggung pengobatan kronis seperti cuci darah.
“Kalau tidak ada BPJS Kesehatan, mungkin saya sudah berhenti berobat dari dulu. Atau mungkin malah sudah tidak ada sekarang,” katanya.
Ia mengisahkan bahwa hidupnya terasa benar-benar berubah sejak cuci darah menjadi bagian dari keseharian. Ia tak lagi sebebas dulu, tak bisa jauh dari rumah terlalu lama, dan harus menjadwalkan segalanya mengacu pada jadwal hemodialisis. Namun, semua itu ia terima dengan lapang dada.
“Sekarang saya tidak bisa banyak-banyak kerja atau bantu-bantu. Tenaga udah tidak kuat. Tapi saya masih bisa ngasih senyum buat anak dan cucu. Itu saja sudah cukup,” ujarnya.
Marni pun merasa sangat terbantu dengan pelayanan yang diberikan oleh RSUD Soeprapto Cepu. Ia merasa diperhatikan, dilayani dengan baik, dan tidak pernah merasa dibedakan meskipun tidak membayar langsung dari kantongnya sendiri.
“Dokternya baik, perawatnya sabar, saya datang ya langsung ditangani. Tidak ada cerita disuruh nunggu lama atau dipersulit. Saya benar-benar bersyukur,” ujarnya.
Baginya, Program JKN bukan sekadar program pemerintah. Ia menyebutnya sebagai penyelamat hidup bagi orang-orang kecil seperti dirinya. Ia bahkan menyebut bahwa setiap kali datang untuk cuci darah, ia seperti mendapatkan kesempatan hidup yang baru.
“Kalau ditanya apa yang paling saya syukuri sekarang, saya akan jawab bahwa saya masih bisa hidup dan itu karena ada Program JKN. Tolong jangan pernah dihilangkan program ini, karena masih banyak orang seperti saya yang bergantung penuh,” katanya.
Marni berharap agar Program JKN bisa terus hadir, terus dikuatkan, dan terus menjangkau orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Ia tahu dirinya bukan satu-satunya yang berjuang, tapi ia percaya bahwa perjuangannya bisa menjadi pengingat bahwa ada manusia yang menggantungkan hidupnya lewat Program JKN yang mulia ini.
“Selama saya masih bisa duduk dan jalan, saya akan terus berobat. Saya akan terus bertahan. Karena sekarang saya tahu, saya tidak sendiri,” tutup Marni.