Dari Investasi Hijau sampai Sistem Insentif, Ini 4 Rekomendasi Fahira Idris Dorong Investasi Daerah Berkeadilan dan Berkelanjutan

JAKARTA -- Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris mengatakan, walau kinerja investasi nasional beberapa tahun terakhir menunjukkan tren positif, tetapi masih banyak tantangan yang harus dicarikan solusinya.
Salah satunya ketimpangan kapasitas investasi antarwilayah. Beberapa daerah maju pesat karena didukung infrastruktur, SDM, dan akses pembiayaan yang kuat. Sementara daerah lain masih kesulitan menarik investor karena keterbatasan kapasitas lokal dan birokrasi yang belum efisien.
Tantangan lainnya, lanjut Senator Jakarta ini adalah transformasi paradigma investasi. Sudah saatnya kita memandang bahwa investasi yang baik bukan hanya yang besar nilainya, tetapi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan memberdayakan masyarakat lokal.
“Sinergi kuat antara pusat dan daerah akan menjadikan investasi bukan hanya instrumen pertumbuhan ekonomi, tetapi juga alat pemerataan dan pemberdayaan masyarakat Indonesia. Kita tentu semua sepakat bahwa investasi yang berkeadilan adalah investasi yang menghidupkan daerah, bukan sekadar menumbuhkan angka,” ujar Fahira Idris di sela-sela Rapat Kerja Komite IV DPD RI dengan Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (4/11).
Fahira Idris mengungkapkan, setidaknya terdapat empat langkah strategis yang patut mendapat perhatian untuk mendorong investasi daerah berkeadilan dan berkelanjutan. Pertama, percepat pembentukan green investment roadmap per provinsi. Indonesia punya potensi besar di energi terbarukan, pertanian dan maritim berkelanjutan serta pengelolaan sampah, tetapi belum banyak daerah memiliki peta jalan yang jelas. Kementerian Investasi bersama pemda perlu menyusun Green Investment Roadmap per provinsi untuk memetakan potensi dan proyek hijau siap tawar. Roadmap ini akan memperkuat promosi investasi daerah, menarik pendanaan global, dan meneguhkan peran Indonesia dalam transisi ekonomi hijau.
Kedua, integrasikan pelatihan vokasi dengan proyek investasi strategis. Menurut Fahira Idris, kelemahan utama investasi di daerah adalah minimnya keterlibatan tenaga kerja lokal. Setiap proyek besar, terutama di sektor hilirisasi, energi, dan manufaktur, perlu disertai commitment clause untuk pelatihan tenaga kerja daerah serta kerja sama dengan politeknik atau BLK setempat. Kolaborasi antara dunia industri dan pendidikan vokasi akan menciptakan siklus tenaga kerja berkelanjutan. Dengan begitu, investasi tak hanya menghasilkan produk, tetapi juga membangun SDM unggul dan warisan kapasitas lokal.
Ketiga, dorong kemitraan Himbara–Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk pembiayaan investasi daerah. Akses pembiayaan masih menjadi hambatan utama investasi daerah. Kemitraan strategis antara bank nasional (Himbara) dan BPD melalui skema co-financing perlu diperkuat. Himbara menyediakan likuiditas besar, sementara BPD memahami karakter ekonomi lokal. Skema ini memperluas akses modal bagi UMKM, koperasi, dan pelaku ekonomi kreatif, menjadikan investasi sebagai gerakan ekonomi inklusif, bukan semata monopoli korporasi besar.
Keempat, sistem insentif bagi daerah pro-investasi. Pemerintah perlu menyiapkan insentif fiskal dan nonfiskal bagi daerah dengan kinerja investasi tinggi dan perizinan efisien. Tambahan Dana Insentif Fiskal berbasis kinerja, prioritas infrastruktur, atau kemudahan regulasi bisa menjadi bentuk penghargaan.
“Selain bentuk fiskal, penghargaan nonfiskal seperti prioritas pembangunan infrastruktur, akses program nasional, atau kemudahan regulasi juga bisa diberikan. Pendekatan ini mendorong kompetisi sehat antar daerah, menumbuhkan birokrasi profesional, dan mempercepat layanan publik yang pro-investasi,” ujar Fahira Idris
