Home > News

RUU Ketenagakerjaan Pintu Masuk Regulasi Ojek Daring yang Berkeadilan

Pembentukan undang-undang baru sebagai payung hukum komprehensif memang ideal secara substansi.
Aksi para pengemudi ojol yang menyuarakan sejumlah tuntutan salah satunya kebijakan potongan biaya aplikasi sebesar 20 persen oleh aplikator yang dinilai memberatkan para pengemudi ojek online. Sumber:Republika/Thoudy Badai
Aksi para pengemudi ojol yang menyuarakan sejumlah tuntutan salah satunya kebijakan potongan biaya aplikasi sebesar 20 persen oleh aplikator yang dinilai memberatkan para pengemudi ojek online. Sumber:Republika/Thoudy Badai

JAKARTA -- Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menilai langkah paling realistis untuk memperbaiki nasib pekerja ride hailing saat ini adalah dengan memasukkan klausul pekerja daring ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang saat ini sedang proses pembahasan di DPR RI.

Pilihan ini dinilai lebih memungkinkan dibanding dua alternatif lainnya, yakni pembentukan undang-undang baru atau penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Menurut Muhammad Anwar, Peneliti IDEAS, pembentukan undang-undang baru sebagai payung hukum komprehensif memang ideal secara substansi. Namun prosesnya sangat panjang, melewati tahapan politik yang kompleks serta bergantung pada komitmen dan konsensus lintas fraksi di parlemen.

“Persoalannya, isu pekerja digital atau transportasi daring tidak termasuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, bahkan tidak masuk waiting list. Artinya, peluang politiknya saat ini sangat kecil,” ujar Anwar, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/7/2025).

Opsi kedua, yaitu mendorong Presiden mengeluarkan Perppu, juga dinilai sangat berat secara konstitusional. Meski Perppu memiliki keunggulan sebagai instrumen hukum lintas sektor dan respons cepat atas kondisi darurat hukum, syarat penerbitannya sangat ketat.

Berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi, Perppu hanya bisa dikeluarkan jika terdapat kegentingan yang memaksa yang tak bisa diselesaikan melalui prosedur legislasi biasa.

“Dalam praktik politik maupun tafsir MK, kekosongan hukum atau ketimpangan relasi saja belum cukup memenuhi syarat konstitusional kegentingan. Harus ada ancaman nyata terhadap kepentingan umum secara luas. Dalam konteks pekerja daring, pemerintah dan DPR cenderung belum melihatnya sebagai kondisi krisis nasional,” jelas Anwar.

Dibandingkan dua opsi tersebut, memasukkan klausul pekerja daring ke dalam RUU Perubahan Ketiga UU Ketenagakerjaan merupakan jalur yang paling terbuka secara politik dan prosedural. RUU ini telah masuk Prolegnas Prioritas 2025 dan sedang dalam tahap pembahasan. Lebih penting lagi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 168/PUU-XXI/2023 telah memberikan mandat agar regulasi ketenagakerjaan dibentuk secara berdiri sendiri di luar UU Cipta Kerja.

Namun demikian, efektivitas opsi ini sangat bergantung pada kejelasan status hukum pekerja daring apakah akan dikategorikan sebagai pekerja formal, pekerja informal, atau entitas baru sebagai mitra platform.

"Tanpa kejelasan ini, pengaturan dalam UU akan rentan multitafsir dan berpotensi tidak memberikan perlindungan substantif. Oleh karena itu, status hukum pekerja digital harus clear sebagai menjadi prasyarat awal sebelum klausul perlindungan dimasukkan ke dalam regulasi ketenagakerjaan," ucap Anwar.

Anwar pun menegaskan bahwa apapun jalur regulasi yang dipilih, substansi perlindungan yang diatur harus berlandaskan pada lima prinsip dasar kerja layak (decent work).

"Lima prinsip kerja layak yang harus ada dalam regelasi tersebut adalah pendapatan yang layak (fair pay), lingkungan kerja yang aman (fair condition), perjanjian kerja yang adil (fair contract), pengelolaan kerja yang partisipatif (fair management), serta keterwakilan yang memadai (fair representation)," ungkap Anwar.

Temuan IDEAS dari survei nasional 2023 menunjukkan bahwa kelima prinsip tersebut gagal terpenuhi dalam ekosistem kerja ride hailing di Indonesia. Pendapatan mitra ojol anjlok dari rata-rata Rp 305.000 per hari sebelum pandemi menjadi hanya Rp 168.000 per hari pada 2023. Setelah dipotong ongkos operasional, penghasilan bersih mitra bahkan hanya separuh dari upah minimum kota.

Di sisi lain, mayoritas mitra bekerja lebih dari 9 jam sehari tanpa hari libur, rawan kecelakaan, dan minim perlindungan sosial. Sebanyak 58,7 persen mitra bekerja lebih dari 61 jam per minggu. Sebanyak 31,6 persen pernah mengalami kecelakaan, tetapi hanya 12,9 persen yang mendapat jaminan BPJS dari aplikator.

“Mitra ojol disebut sebagai ‘rekan usaha’, tapi dalam praktiknya diperlakukan layaknya buruh tanpa perlindungan. Tarif ditetapkan sepihak, potongan tinggi, bonus sulit dicapai, dan suspend bisa diberikan kapan saja tanpa klarifikasi,” tutur Anwar.

Anwar menambahkan, bahwa hubungan yang timpang itu juga tampak dari lemahnya aspirasi mitra dalam pengambilan keputusan. Lebih dari 76 persen mitra tidak pernah berkomunikasi langsung dengan aplikator.

Secara eksplisit, memang tidak ada larangan bagi pengemudi ojek daring untuk bergabung dalam serikat pekerja. Namun, dalam tata tertib salah satu aplikator, tercantum klausul Pelanggaran Tingkat V Poin 15 yang melarang mitra “terlibat, mengadakan, mengikuti, dan/atau menghasut pihak lain untuk mengikuti pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi ilegal”.

Ketentuan ini menimbukan multi tafsir terkait dengan definisi ‘demonstrasi ilegal’ yang pada akhirnya berpotensi menciptakan ketakutan di kalangan mitra untuk terlibat dalam kegiatan kolektif seperti forum advokasi, serikat, atau aksi protes.

“Survei kami menunjukkan, 67,1 persen responden meyakini bahwa aplikator secara eksplisit melarang pembentukan atau keanggotaan dalam serikat pekerja,” ujar Anwar.

Karena itu, Anwar mendesak pemerintah dan DPR untuk tidak menyia-nyiakan momentum revisi UU Ketenagakerjaan. Negara harus memastikan teknologi digital tidak menjadi alat eksploitasi baru.

“Sudah waktunya negara hadir secara aktif. Bukan hanya memberi ruang tumbuh bagi ekonomi digital, tapi juga menjamin kerja yang manusiawi bagi para pekerja yang menopangnya,” pungkas Anwar.

× Image